Social Icons

Rabu, 10 April 2013

Sejarah Benteng Madang dan Monumen Proklamasi 17 Mei 1949


SEJARAH “BENTENG MADANG
&
MONUMEN PROKLAMASI 17 MEI 1949
Benteng Madang terletak di Desa Madang Kecamatan Padang Batung Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Kalimantan Selatan). Jarak antara Desa Madang dengan Banjarmasin sekitar 140 km. Benteng Madang dibangun seiring dengan pecahnya Perang Banjar melawan penjajah Belanda di Bumi Lambung Mangkurat. Benteng ini terdapat di atas Gunung Madang salah satu dari bagian Pegunungan Meratus. Tempat tersebut sangat strategis untuk pertahanan, karena bila kita berada di tempat tersebut, maka daerah sekeliling dapat terlihat dengan mudah. Benteng tersebut dikelilingi oleh hutan semak belukar di sana–sini ditumbuhi bambu.
foto saya di Benteng Madang

 Gunung Madang identik dengan Benteng Madang dengan luas sekitar 400 m2. Di kaki Gunung Madang terdapat aliran-aliran sungai yang di tepinya banyak ditumbuhi ilalang dan pohon bambu. Pada aliran-aliran sungai yang mendekati tempat penyeberangan diadakan titian atau jembatan-jembatan yang apabila diinjak titian ini bergerak, dan kalau jatuh besar kemungkinan tertusuk benda tajam yang sengaja dipasang oleh pejuang-pejuang Antaludin. Akibatnya tidak hanya luka-luka bahkan tidak jarang mengakibatkan kematian. Masyarakat menyebutnya sebagai “jembatan serongga”. Jembatan-jembatan tersebut sengaja dibuat oleh pejuang-pejuang Antaludin agar apabila musuh ingin memasuki daerah Gunung Madang akan terhalang atau mudah diketahui.

 foto saya bersama teman-teman
Untuk memperkokoh pertahanan Benteng Madang diberi perlindungan dari pepohonan agar gelap di sang hari. Pada bagian lain dibuat jalan rahasia untuk keluar pabila kemungkinan seangan musuh bisa tembus. Konon pernah serdadu Belanda mengadakan penjajakan untuk melihat dari dekat keadaan Benteng Madang, tetapi mereka tidak melihat apa- apa kecuali hutan semak belukar. Keadaan yang ganjil ini membuat serdadu Belanda penasaran. Sehingga suatu waktu tempat tersebut ditembaki oleh serdadu Benda dari jarak jauh. Ketika para serdadu Belanda tersebut kelelahan dan kehausan, mereka meminta air kelapa muda kepada masyarakat, tetapi yang terjadi setelah mereka meminum semua sakit perut dan ada yang meninggal.
Taktik gerilya yang dilakukan oleh pejuang-pejuang Antaludin membuat pemerintah kolonial Belanda kebingungan dan putus asa. Banyak serdadu Belanda yang terbunuh. Para pejuang Antaludin tidak pernah menyerah dan Benteng Madang tidak pernah direbut Belanda. Baru ketika benteng tersebut ditinggalkan oleh pejuang-pejuang Antaludin untuk bergerilya ke berbagai lokasi pertempuran, tentara Belanda menemukan tempat kosong setelah dengan susah payah berusaha mengepung untuk merebutnya. Sejarah telah mencatat Perang Banjar dimulai sejak penyerangan terhadap tambang batu bara Belanda Oranye Nassau di Desa Pengaron yang dipimpin oleh Pangeran Antasari dengan mengerahkan pasukan Muning pimpinan Sultan Kuning.
Peristiwa ini terjadi pda tanggal 28 April 1859. Pangeran Hidayat memerintahkan kepada Sultan Kuning dan Pangeran Antasari mempercepat penyerangan terhadap tambang batu bara Oranye Nassau milik Belnda tersebut. Serangan ini diikuti oleh gerakan-gerakan massa lainnya yang tersebar di seluruh Kerajaan Banjar. Kemudian serentak rakyat Banjar bangkit mendukung perjuangan Pangeran Antasasri untuk mengusir Belanda dari tanah Banjar. Selanjutnya Perang Banjar berlangsung sampai dengan tahun 1904, suatu peperangan yang sangat melelahkan karena tergolong perang kolonial yang paling lama di Indonesia. Pangeran Antasari dan Demang Lehman meminta kepada Tumenggung Antaludin untuk membuat benteng pertahanan di Gunung Madang. Benteng Madang dibangun di sebuah puncak gunung di Desa Madang. Bangunan benteng dari bahan kayu madang yang ada di sekitarnya serta pagar hidup dari pohon bambu dengan luas kurang lebih 400m2 bertingkat dua, agar mudah mengintai musuh dari bagian teratas.
Benteng ini diberi perlindungan agar gelap pada siang hari dan dibuat jalan rahasia untuk keluar. Hal ini untuk memperkuat pertahanan dan tentara Belanda sulit merebut tempat ini. Tercatat ada lima kali serangan Belanda terhadap benteng ini. Tanggal 3 September 1860 terjadi serangan mendadak oleh pasukan infantri Belanda sementara benteng belum selesai dibangun. Serdadu Belanda bergerak dari Benteng Amawang Belanda menyelusuri Desa Karang Jawa dan Desa Ambarai langsung menuju Gunung Madang. Serdadu Belanda terkejut, ketika baru mendekati bukit itu terjadi serangan mendadak menyebabkan beberapa serdadu Belanda tewas. Sekali lagi serdadu Belanda mendekati bukit tetapi sebelum sampai serangan gencar menyambutnya. Sehingga serdadu Belanda mundur kembali ke benteng Amawang di Kandangan. Tanggal 4 September 1860 pasukan infantri Belanda dari batalyon ke 13 melakukan serangan kedua kalinya.
Pasukan Belanda dilengkapi dengan mortir dan berpuluh-puluh orang perantaian (nara pidana) untuk membawa perlengkapan perang yang dijadikan umpan dalam pertempuran. Serdadu Belnda melemparkan 3 geranat tetepi tidak berbunyi dan disambut dengan tembakan dari dalam benteng. Ketika Letnan De Bouw dan Sersan De Varies menaki Gunung Madang hanya diikuti serdadu bangsa Belanda, sedangkan serdadu bangsa bumiputera membangkang tidak ikut bertempur. Dalam pertempuran Letnan De Brouw kena tembak di paha, sehingga serdadau Belanda mundur dan kembali ke Benteng Amawang. Tanggal 13 September 1860 serangan ketiga Belanda terhadap Benteng Madang dipimpin oleh Kapten Koch dengan bantuan serdadu Belanda dari Banjarmasin dan Amuntai. Pertempuran ini terjadi dalam jarak dekat, tetapi Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin dengan gagah berani menghadapinya. Disaat bunyi senapan dan meriam bergema, tiba-tiba roda meriamnya hancur kena tembakan.
Pasukan Belanda dan Kapten Koch kembali mundur ke Benteng Amawang. Kegagalan serangan ketiga ini membuat belanda sangat malu karena tersebar sampai ke Banjarmasin. Tanggal 18 September 1860 serangan Belanda yang keempat dipimpin oleh Mayor Schuak dengan pasukan infantri batalyon ke 13 yang terdiri dari beberapa opsir bangsa Belanda, dibantu oleh Kapten Koch dengan membawa sebuah heuwitser, sebuah meriam berat dan morter. Menjelang pukul11.00 siang hari Demang Lehman memulai menyambut serdadu Belanda dengan tembakan. Letnan Verspyck yang berani mendekati benteng dengan pasukannya kena tembak oleh anak buah Tumenggung Anataludin, akhirnya mengundurkan diri membawa korban. Selanjutnya Kapten Koch memerintahkan memajukan meriam. Dengan jitu peluru mengenai serdadu pembawa meriam itu dan jatuh terguling. Setelah pasukan meriam gagal, dilanjutkan dengan pasukan infantri mendapat giliran maju. Kapten Koch yang memimpin pasukan infantri maju kena tembak di dadanya dan jatuh tersungkur. Dengan jatuhnya Kapten Koch tersebut serdadu Belanda menjadi bingung dan kehilangan komando. Dengan bergegas pasukan Belanda menggotong tubuh Kapten Koch dan meninggalkan medan pertempuran, mengundurkan diri kembali ke Benteng Amawang. Setelah serangan keempat ini gagal Belanda mempersipkan kembali untuk penyerangan yang kelima.
Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin juga mempersiapkan siasat dan strategi untuk menghadap serangan besar-besaran Belanda dengan keluar dan tidak berpusat bertahan dalam benteng saja. Demang Lehman mendapat bantuan dari pasukan Kiai Cakra Wati pahlawan wanita yang selalu menunggang kuda yang berasal dari Gunung Pamaton. Tanggal 22 September 1860 Belanda dengan persiapan teliti, belajar dari kegagalan dan beberapa kali dipermalukan dari empat kali serangan, Belanda mempersiapkan bidak-bidak dan perlindungan pasukan penembak meriam dengan sistem pengepungan Benteng Gunung Madang. Pertempuran baru terjadi esok harinya dengan tembakan meriam dan lemparan geranat. Menjelang pukul 11.00 malam hari, tiba-tiba Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin mengadakan serangan besar-besaran dengan berbagai jenis senapan yang dimiliki. Pertempuran berkobar hingga menjelang subuh. Karena pertempuran berlangsung di malam hari yang gelap gulita pasukan Belanda kehilangan komando.
Situasi yang tegang ini digunakan oleh Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin beserta pasukannya untuk keluar benteng dan menyebar keluar meninggalkan benteng dan selanjutnya berpencar. Suatu strategi yang dilakukan oleh Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin utuk menghindari kehancuran pasukannya. Sementara Kiai Cakrawati dan pasukannya juga berhasil meneruskan perjalanan menuju Gunung Pamaton. Sementara itu dengan hati-hati pasukan Belanda memasuki benteng untuk menghancurkan kekuatan Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin, tetapi alangkah kecewanya Belanda ternyata benteng sudah kosong dan hanya ditemukan satu orang mayat yang ditinggalkan.
Demikian lah sejarah singkat Benteng Madang, sebuah tempat pertahanan para pejuang Perang Banjar di daerah Hulu Sungai Selatan (Kandangan) dalam menghadapi pasukan Belanda. Pada dasarnya benteng tersebut tidak berhasil direbut Belanda karena Benteng Madang ditinggalkan oleh pejuang Banjar kemudian melanjutkan perlawanan berikutnya ditempat lain yang lebih strategis. Pasukan Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin sampai akhir hayatnya tidak pernah menyerah kepda Belanda Dengan susah payah, biaya yang besar dan dengan perang yang melelahkan serta banyaknya korban, Belanda sangat malu dan dikecewakan karena benteng yang akan direbut tidak lebih hanyalah tempat kosong belaka.
Sekarang lokasi situs Benteng Madang tetap terpelihara, sebagai situs sejarah dengan juru peliharanya. Bila sejarah adalah pertangungjawaban masa silam, maka situs Benteng Madang dengan segala kejadiannya merupakan saksi sejarah bahwa disini di bumi Banjar telah terjadi suatu peristiwa kepahlawanan untuk melawan kolonial Belanda. Pejuang Banjar di sini secara konsekwen dan konsesten memegang prinsip “HARAM MANYARAH WAJA SAMPAI KAPUTING”. Suatu slogan dalam kehidupan orang Banjar dari dulu hingga sekarang dan yang akan datang.









Gambar Monumen Proklamasi 17 Mei 1949


Monumen Proklamasi 17 Mei 1949, adalah monumen untuk memperingati tentang Proklamasi rakyat di Kalimantan Selatan. Proklamasi 17 Mei 1949 merupakan suatu usaha mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945) oleh rakyat di Kalimantan Selatan, yang menyatakan bahwa wilayah Kalimantan Selatan merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yang mana Monumen 17 Mei 1949 ini diresmikan tanggal 10 November 1986 oleh Gubernur kepala daerah TKI Kalimantan Selatan yaiti Ir.H.M.SAID.





Dalam usaha mempertahankan kemerdekaan itu pada kenyataannya tidaklah mudah, karena para pejuang harus melewati serangkaian perjuangan fisik dalam kurun waktu sekitar tahun 1945-1949. Dari Monumen Proklamasi 17 Mei 1949 di situ kita bisa melihat riwayat dari Pergerakan atau perlawanan serta keinginan rakyat Indonesia Khususnya di Kalimantan Selatan untuk merdeka (terbebas dari semua hal-hal yang berbau penjajahan).  Maka dari situlah Rakyat Indonesia di Kalimantan Selatan berupaya untuk merdeka.

Selain itu juga terdapat beberapa lukisan yang ada disamping kiri dan kanan dari Monumen Proklamasi tersebut yang mana gambaran atau lukisan itu menceritakan perjalanan Divisi IV tentang usaha rakyat di Kalimantan Selatan untuk Merdeka. 


  • Di bawah ini adalah gambar atau lukisan pertama yang ada disamping kiri kalau dilihat dari depan Monumen Proklamasi 17 Mei

Dari gambar tersebut menceritakan pawai merah putih  se Kalimantan Selatan pada tanggal 10 oktober 1945, yang mana pawai merah putih ini menceritakan keinginan rakyat di Kalimantan Selatan untuk tetap bersatu dalam Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mana sebelumnya masih terpisah, pawai merah putih itu merupakan refliksi dari keinginan rakyat untuk bersatu di bawah kesatuan Negara Republik Indonesia (NKRI).


  • Di lukisan kedua yaitu menceritakan tentang Pertempuran 9 November 1945 di Banjarmasin



Dari gambar tersebut menceritakan tentang pertempuran di Banjarmasin melawan sekutu yang bertepatan di dekat Polda Kal-sel pada saat ini, dan disitulah dulu terjadi pertempuran 9 November 1945 bangsa Indonesia di Kalimantan Selatan melawan sekutu. Kemudian ada juga Monumen 9 November di Pengambangan Banua Anyar sama seperti yang di kantor KPN tadi. Dan dari pertempuran melawan sekutu tersebut maka dibangunlah sebuah Monumen 9 November 1945 di Banjarmasin yang sekarang monumen tersebut telah tidak ada dan telah tergantikan dengan dibangunnya kantor KPN, di kator KPN itulah dulunya ada sebuah Monumen Pertempuran 10 November 1945.

  • Pada lukisan ke tiga EKSPEDISI T.R.I. LAUT yang terjadi di pantai Batakan. 




  • Selanjutnya pada lukisan ke empat yang ada disebelah kanan kalau dilihat dari depat depan Monumen Proklamasi 17 Mei
Pada lukisan ini menceritakan turunnya pasukan payung pertama yang menjadi cikal bakal TNI AU yang terjadi di Pangkalan Bun Kalimantan Tengah dan pada tanggal 21 Desember 1948 ini terjadinya Pertempuran di Hawang Cilikriwut, dan dari kejadian itu dibangunlah sebuah tugu di Bundaran Garuda Pangkalan Bun di situ ada terdapat sebuah Monumen yang di atasnya ada sebuah pesawat, monumen itu peringatan sebagai pasukan terjun payung pertama yang menjadi cikal bakal pasukan elit Angkatan Udara.



  • Pada lukisan ke lima menceritakan tentang pelaksanaan Proklamasi yang dilaksanakan pada tanggal 17 Mei 1949 dan pertempuran dimarkaskan di Karang Jawa pada tahun 1949






  • Di lukisan terakhir atau yang ke enam menceritakan tentang pengangkatan TAD Letkol Hasan Basry oleh pertahanan RI  pada tanggal 2 Desember tahun 1949
 



sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Flag Counter